MiniFictions

Lokasi    : Sekolah
Pukul      : 06.25

Ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang semester genap. Tidak terlalu buruk, tapi hujan turun sangat deras dan aku hampir terlambat. Aku  bergegas  menaiki puluhan anak tangga menuju  kelasku di lantai dua. Aku tidak boleh terlambat atau Mrs. Morey tidak akan membiarkanku mengikuti pelajarannya.
‘Buuuk’. Seseorang menabrakku, aku mencoba untuk berdiri. “Hey!” Aku dan orang itu, laki-laki yang menabrakku, saling menatap dengan tatapan kosong. Aku bisa merasakan nyeri di lenganku akibat tabrakan tadi.  ‘Aneh, kenapa aku tidak bisa marah?’ batinku. Tak ingin berlama-lama, aku segera berjalan memunggungi laki-laki tadi sambil terus bergumam kesal.
Beruntung, aku belum terlambat masuk kelas. Kulihat Mrs. Morey masih sibuk dengan tumpukan lembar materi tambahan baru yang sepertinya ingin dia bagikan. Kulihat beberapa temanku masih asyik mengobrol seakan-akan mereka berharap kelas hari ini akan dibatalkan.
“Hai, Kath.” sapa Lissie, teman sebangkuku.
“Hai.”
“Kenapa lenganmu?”
Tanpa sadar aku masih meraba-raba lenganku yang memar, “seseorang menabrakku, aku tidak kenal siapa.”
Lissie melihat lenganku dengan tatapan prihatin.
“Tidak apa-apa kok.” Responku dengan sedikit meringis.
Lissie merapatkan tubuhnya padaku dan bertanya setengah berbisik, “kau ikut perkemahan musim panas tahun ini?”
“Sebenarnya aku bahkan belum memikirkannya.” jawabku tak acuh.
“Oh ayolah Kath, ini pasti keren. Kamu ikut ya!”
Aku berpura-pura tidak mendengarkan bujukan Lissie, ku rapikan tumpukan bukuku, kuletakkan sebagian di kolong meja agar tidak menghalangi pandanganku saat Mrs. Morey menerangkan nanti. “Kamu kan tahu bagaimana aku sangat membenci summer camp.” komentarku akhirnya.
Lissie tertawa pelan seperti sedang teringat kejadian yang pernah menimpaku di summer camp saat kami berusia delapan tahun. “Kath, itu sudah beberapa tahun lalu, lagipula kamu masih anak-anak, wajar kan kalau semua hal konyol itu terjadi pada kita.”
“Kita? Hanya aku, Lissie.” kataku mengoreksi, “hanya aku yang mengalami kejadian konyol itu, tercebur ke danau buatan yang dingin dan berlendir sampai aku hampir mati kehabisan napas, semua orang meledekku karena aku tidak bisa berenang, dan rokku yang terbakar api unggun. Please Lissie, aku ingin melupakkan kejadian itu,” aku menghembuskan napas perlahan, “itu membuatku trauma, bahkan air dan api bekerja sama menolakku.”
“Berapa usiamu sekarang?” tanya Lissie mengenai hal yang sudah ia tahu dengan pasti. “kau tidak akan mengulangi kekonyolan itu lagi. You’re eighteen Katheline.”
Mrs. Morey memulai pelajaran, baguslah. Lagipula aku sama sekali tidak berhasrat membahas topik summer camp sekarang. Aku terselamatkan.
Sepanjang pelajaran, aku berusaha berkonsentrasi, aku tidak mau memberikan kesempatan pada Lissie untuk membahas summer camp lagi. Lissie terlihat kesal, tapi aku cuek saja. Setiap kali Mrs. Morey berhenti bicara, aku berpura-pura menyibukkan diri membaca buku teks seakan mencari jawaban dari apa yang tidak kumengerti.




Seusai jam pelajaran,
Lissie mengejarku begitu bersemangat dan berapi-api ingin membahas masalah tadi yang menurutnya belum selesai. “Kath, bagaimana? Aku tidak ingin kita terlambat mendaftar, aku ingin sekali ikut, tapi harus denganmu.”
Aku mendesah, “terserah kamu sajalah.”
Ya ampun, apa yang baru saja aku katakan, ini sama sekali bukan kalimat tanya. Kalimat itu memberikan wewenang yang salah untuk Lissie. Belum sempat aku berbalik, Lissie sudah berlari penuh semangat menuruni tangga. Bisa saja aku menyusulnya ke student center untuk membatalkan niatnya mengikutsertakan aku pada acara summer camp, tapi sudahlah, aku tidak ingin sahabatku kecewa. Sepanjang perjalananku keluar dari gedung sekolah, aku hanya berharap aku bisa melewati summer camp sialan itu tanpa mengalami lagi hal konyol dan memalukan seperti yang sudah-sudah.

********

Lokasi    : Perpustakaan Kota
Pukul      : 15.30

 Hujan sudah tidak sederas tadi, aku masih harus ke perpustakaan kota. Aku berjalan menyusuri beberapa blok untuk sampai disana. Musim hujan memaksa sebagian warga kota bermalas-malasan di rumah, secepat mungkin menyelesaikan kegiatan mereka untuk menikmati desiran angin dan memandang daun-daun yang berguguran dengan ditemani secangkir teh dan cake rumahan yang lezat. Suasana ini membuatku merasa iri dengan orang-orang di dalam rumah itu. Seandainya Mrs. Morey tidak membebaniku dengan tugas-tugas yang melelahkan, pasti hari ini bisa kunikmati dengan puas, paling tidak ini menurutku.
 Aku sudah sampai, kulihat tembok kokoh yang bertuliskan PERPUSTAKAAN KOTA. Cepat-cepat aku masuk, tubuhku sudah semakin lemah belakangan ini, mungkin aku bisa sakit jika tidak menjaga kondisi tubuhku dengan baik di cuaca seperti ini.
Aku memeriksa beberapa baris rak, mencari buku yang mungkin bisa kugunakan untuk melengkapi tugas.
 ‘krek’
 ‘krek’
Suasana perpustakaan yang sepi membuat suara langkahku terdengar jelas. Tidak banyak orang di perpustakaan, hanya Josh, si petugas paruh waktu perpustakaan kota, aku, seorang wanita berkacamata dengan dresscoat berwarna peach-nya, beberapa anak laki-laki yang bergerombol melihat  buku cerita bergambar, dan beberapa orang lainnya yang sibuk dengan buku pilihan mereka masing-masing. Aku terus berjalan meyusuri rak demi rak yang ditempeli indeks “Sejarah”.
‘Wah ini dia bukunya! Asik,’ gumamku kegirangan mendapati buku yang sesuai untuk melengkapi tugasku.
Tiba-tiba..
‘buuuk’,
“Ouw…”, seseorang menabrakku dan lagi-lagi, “Hey!”
Aku melihat orang yang menabrakku itu, dia orang yang sama dengan orang yang menabrakku tadi di sekolah, rasanya kali ini aku sudah tak dapat menahan kekesalanku lagi. “Kau, kau lagi? Hobimu ya tidak berjalan hati-hati, menabrak orang lain dan pergi begitu saja tanpa meminta maaf?”
Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya, menoleh kearahku dan meminta maaf tanpa rasa bersalah, “Maaf.”
“Hey.. lenganku sakit tahu!” ucapku sedikit berteriak.
Laki-laki itu terus berjalan tak mengindahkanku. Aku sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi, tubuhku terasa lemas. ‘Tuhan, aku sungguh butuh bantuan’, batinku hiperbolis.
Tiba-tiba laki-laki itu menoleh ke arahku dan berbalik. Dia berjalan mendekatiku dengan tatapan ragu, “kita satu sekolah kan? Vasque Sean.” ucapnya memperkenalkan diri, “Panggil aku Sean saja.”
“Terserah kamu saja.” jawabku masa bodoh.
“Aku sangat terburu-buru tadi sampai tidak sempat meminta maaf.”
“Bukan salahmu,” aku berjalan melewatinya, mataku melihat-lihat sekeliling untuk mencari bangku yang bisa kududuki. “aku juga tadi sangat terburu-buru sampai tidak sempat menunggumu mengeluarkan kata maaf.”
Entah kenapa kalimat ku tadi terdengar seperti lelucon baginya, ia pun tertawa kecil. Sean duduk disebelahku. Dari dekat kupandangi garis wajahnya yang tegas, alisnya yang tebal dan kulitnya yang bersih dan cerah. Sesaat aku merasakan perasaan aneh, aku terpesona dengan laki-laki yang baru ku kenal ini. Sekali lagi Sean tersenyum menahan tawa melihat ekspresiku yang kagum dan terlihat kebingungan seperti orang bodoh.
“Kamu anak baru ya?” aku memulai lagi obrolan diantara kami, walaupun aku tahu mengobrol di perpustakaan adalah hal yang tidak dibenarkan. Tapi siapa yang peduli, pengunjung hari ini terlalu sedikit untuk ukuran perpustakaan sebesar ini.
Sean sepertinya tidak memerhatikan aku. Dia seperti sibuk mencari sesuatu, matanya tertuju pada rak-rak berisi lusinan buku yang berdiri kokoh disekitar kami. Aku mencoba membiarkannya, kali ini aku merasa sikap Sean membenarkan bahwa mengobrol di perpustakaan bukan ide yang baik.
Well, baiklah kalau kau tidak ingin bicara,” gumamku pelan dengan nada sedikit kecewa.
Sean menoleh kearahku, dia menyodorkan beberapa buku dengan cover yang menarik. “Hmm.. bagaimana aku bisa memanggilmu?”, tanyanya tiba-tiba.
“Katheline Harslage, Kath saja cukup.” Jawabku tanpa balik menoleh kearahnya, aku malah sibuk dengan buku-buku yang disodorkannya tadi. “Kau ini anak baru?” aku mengulang pertanyaan ku.
“Iya. Aku pindah dari Ars Spere Town karena pekerjaan ayahku.”
‘Ars Spere Town? Yang benar saja.. ya Tuhan.. tidak mungkin!!’ batinku, refleks aku terbatuk-batuk. Oh.. tatapan orang-orang disekililingku yang kehilahatannya terganggu dengan suara batukku membuatku merasa tidak nyaman.
“Kenapa Kath?”
Aku berbohong, “Tidak.. tidak apa-apa, aku hanya tersedak. Hahahahaha.”
Mendengar Ars Spere Town membuat perutku terasa mual, itulah kota dimana aku terjerembap dalam kegiatan yang bernama summer camp, membuat masa kecilku berwarna kelabu. Aku malu dan hatiku terluka, karena kekonyolanku waktu itu Rando, cinta pertamaku, habis-habisan menertawakanku. Aku benci summer camp, barak, tenda, api unggun, danau berlendir, jurit malam dan semua kegiatan yang menurutku tidak applicable di dalam kehidupan nyata.
“Kath, aku harus pergi sekarang, sepertinya aku sudah mendapatkan buku yang aku cari. Ngomong-ngomong kau ikut summer camp kan bulan depan? Kau harus ikut Kath, pasti akan sangat menyenangkan. Sekaligus kau bisa datang ke kota dimana aku tinggal dulu.” Sean bersemangat sekali sampai-sampai ia berbicara tanpa henti.
“Oh, hahaha, iya-iya, berdoalah supaya aku ikut.” tawaku terdengar aneh. “Hati-hati.”
Bye, Kath, senang mengenalmu.”
“Ya..ya.., aku juga.. agak senang..,” gumamku pelan, Sean sudah berjalan menjauh menuju pintu keluar perpustakaan tua ini. “AGAK…”, ucapku menegaskan.

********

Dalam keadaan setengah sadar, aku tahu ini sudah yang kesekian kalinya aku menunda dering alarm dari ponsel, sudah saatnya untuk bangun atau aku akan terlambat. Aku melangkah gontai masuk ke kamar mandi, bergegas menyikat gigi dan melakukan ritual mandiku seperti biasanya. Shower cap yang kupunya sudah nyaris rusak. Shower cap-ku sudah banyak berlubang dan karetnya agak kendur sehingga aku harus menggunakan penjepit rambut untuk menjepit dan membuatnya tetap pas dikepalaku.
 Akhir-akhir ini hujan terus mengguyur kota, kuputuskan untuk mengenakan sweater agar aku tetap bisa merasa hangat. Aku tak punya banyak cara untuk menata rambutku, daripada tampak idiot berlama-lama berdiri di depan cermin, aku biarkan saja rambut ikal panjangku terurai membosankan seperti biasanya. Dengan segera kusambar jaketku yang tergantung di balik pintu kamar, menyematkankannya di lengan dan berlari sekuat tenaga menuju ke sekolah.
Musim hujan ternyata tak merubah keadaan Bloom Land di pagi hari, masih tetap saja dipenuhi dengan orang-orang yang bersemangat. Aku berjalan di jalan setapak bersama dengan beberapa orang di depan dan di belakangku. Sepanjang jalan ini ditumbuhi pohon-pohon besar dan rimbun yang entah apa namanya. Sesekali rambut ikalku dijatuhi serbuk-serbuk berwarna kuning lembut dari pepohonan ini.
Pukul 06:45 aku sampai di sekolah. Kulihat beberapa temanku tampak berlari-lari kecil sama seperti aku agar sampai di kelas tepat waktu. Satu bulan ini akan menjadi minggu-minggu yang sibuk sebelum ujian tengah semester. Beberapa guru yang cukup peduli dengan siswa sudah mulai menyusun estimasi soal dan tak henti-hentinya mewanti para siswanya untuk mempersiapkan diri. Ujian tengah semester tidak membuatku takut sama sekali, tapi jika ujian tengah semester selesai, itu berarti waktu liburan sudah semakin dekat, dan itu berarti juga waktu keberangkatan kami para siswa gila ke summer camp, akan semakin dekat. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tahun ini demi Lissie aku rela menjadi bagian dari para siswa gila itu.
 ‘hosh’ ‘hosh’
Aku mulai merasa kelelahan setengah berlari menuju kelasku. Sungguh aku sudah berusaha untuk tidak selalu kesiangan, tapi insomnia akut yang aku idap tidak pernah membiarkan aku tidur tepat waktu.
‘buuuk’
“Aduh,” aku menjerit pelan, tanpa sengaja sikutku menabrak pojokkan loker besi yang keras. ‘Kenapa sih aku ini?’, batinku dalam hati, masih pagi sudah kehilangan keseimbangan. Sepertinya otak dan organ tubuhku tidak mau bekerja sama. Aku berlari-lari kecil sambil meraba sikutku yang memar. ‘Ya ampun, lagi? Memar? Kemarin tertabrak Sean dan sekarang loker besi?’
Sesampainya di depan kelas, ku buka pintunya perlahan. Syukurlah.. aku belum terlambat, Mr. Harry masih sibuk menyiapkan slide yang akan dipresentasikan. Beberapa teman-temanku masih kelihatan asyik mengobrol. Ku letakkan tas dan buku diatas meja sambil menghembuskan nafas karena sudah terlepas dari beban.
Aku tepuk punggung Lissie pelan sebagai sapaan. Dia terseyum kecil, seperti biasa wajah manisnya membuat perasaanku sedikit tenang. Lissie sahabat yang baik walaupun aku baru mengenalnya setahun yang lalu diawal masa orientasi siswa. Dia seperti sudah mengenalku lebih lama dari itu, membuatku merasa nyaman bercerita tentang apapun.
Aku berusaha berkonsentrasi, namun pikiranku melayang entah kemana. Beberapa minggu belakangan ini aku merasa sedikit gelisah dan khawatir. Hari-hariku didominasi perasaan tidak enak. Sebagian besar, kuakui karena hubunganku yang sedang berjalan kurang baik dengan Arka. Arka sulit dihubungi akhir-akhir ini.
Sepanjang jam pelajaran berlangsung, bukannya berkonsentrasi aku malah membiarkan pikiranku melayang-layang tak karuan. Setiap kali Mr. Harry mulai melontarkan pertanyaan, aku seperti pecundang yang panik meminta jawaban dari Lissie. Perasaanku semakin tidak enak ketika Mr. Harry mulai memperhatikan aku. Ya.. dia pasti tahu aku sedang tidak fokus dengan pelajaran yang disampaikannya.
“Young lady, you get my idea?”,tanya Mr. Harry
Lissie menepuk lenganku pelan, “Kath, Mr.Harry bertanya padamu.”
“Hmm.. yes Sir.”, tukasku pendek
Your opinion, please!”
‘Sial,’ kataku dalam hati, “Hmm.. well..”, sudah pasti aku bingung. Kupandangi dua baris hipotesis yang tertulis rapi di papan tulis, kemudian beberapa saat aku beralih memandangi kurva yang menjadi kesimpulan dari keputusan apakah hipotesis awal dari data observasi harus diterima atau ditolak. “ His rejected because Z test is bigger than Z table.”
Good, thank you.”
 Aku menoleh kearah Lissie. “Untunglah.”
“Kath, kamu keren,” Lissie mendorong bahuku pelan dengan bahunya.
“Oh ayolah Lissie, berhenti mengucapkan kata keren.” Ledekku. Lissie tersenyum lagi, dan kali ini senyumnya terlihat merekah. “Semua bukan kebetulan Liz, karena tidak bisa tidur aku memaksakan mataku yang sudah mengantuk untuk membaca materi untuk hari ini.”
“Kereeeen.”, Lissie menggodaku.

Sepulang sekolah,

“Kath,” Lissie menyodorkan sebuah permen manis ke hadapanku. “Akhir-akhir ini aku merasa ada yang tidak beres dengan mu, kau ingin cerita?”
Aku tidak bergeming, ingin aku bercerita sesuatu pada Lissie. Ini tentang kekhawatiranku, tapi aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya, aku bahkan tidak tahu pasti apa yang aku rasa.
“Baiklah, mungkin lain kali, ok?” Lissie menggandeng tanganku, mengajakku keluar kelas. Seakan mengerti kebingunganku, dia tidak memaksaku bercerita kali ini.
Aku mengeluarkan ponsel ku dari salah satu saku tas. Aku mencoba menghubungi Arka, kekasihku, yang sudah menemaniku selama hampir tiga tahun belakangan ini.
“Halo,” terdengar sapa Arka dari balik seberang telepon.
“Arka.. kamu dimana?” jawabku.
“ Aku sedang tidak di rumah Kath, ada apa sayang?”
“Entahlah, aku hanya ingin menelpon, mungkin kamu bisa keluar hari ini. Aku ingin pergi bersama. Bosan dengan tugas-tugas sekolah.” ucapku bersemangat.
“Tapi kelihatannya aku tidak bisa sayang, aku harus ke kampus, ada beberapa rundown acara kampus untuk minggu depan yang harus dirubah.”
“Oh..” aku tidak bisa menyembunyikan suaraku yang terdengar kecewa, “ ok tidak apa-apa.”
Aku menutup teleponku dengan ucapan semangat untuk Arka. Setelah menelponnya perasaanku tak kunjung membaik. Kuredam dalam-dalam perasaanku yang tidak karuan, mungkin aku hanya merasa rindu yang terlalu.
Lissie masih berada disampingku. Aku berpikir mungkin asyik jika aku dan Lissie tidak langsung pulang ke rumah. Kami pergi ke pusat kota. Hembusan angin masih begitu terasa kencang belakangan ini. Aku dan Lissie duduk di serambi depan sebuah café kecil sambil menikmati minuman kopi yang kami pesan. Tak banyak yang aku ceritakan pada Lissie. Aku masih tidak bisa menceritakan apa yang aku rasakan.
Hari semakin sore, kulihat sudah pukul 16:45. Lissie pulang lebih dulu. Entah kenapa perasaanku ingin tetap berada di tempat ini. Seperti mempunyai perasaan yang kuat bahwa sesuatu yang harus kuketahui akan terjadi. Tidak berapa lama pikiranku berubah. Jantungku berdegup tak karuan. Aku merasa begitu tidak nyaman. Aku berjalan menyusuri jalan setapak. Sore ini jalan pusat kota cukup ramai. Aku melihat sosok yang sepertinya sangat ku kenal, aku mencoba mendekat. Semakin dekat aku yakin aku memang mengenal siapa yang aku lihat. Itu Arka dengan seorang perempuan lain yang menggenggam tanganya. Aku tak tahu harus melakukan apa, yang aku tahu pasti hatiku sakit luar biasa. Bagian tengkuk kepala ku pening seketika. Mungkih terlalu hiperbolis, tapi aku merasa seseorang telah menghantamku dengan godam dan darahku seakan bercucuran menyembur dari tiap pori-pori kulitku. Kakiku terasa lemah. Aku memegang dadaku yang seakan berlubang. Aku menangis.
Aku tidak memanggilnya sama sekali. Entah kenapa kakiku seperti ditempeli magnet yang ingin mengikuti Arka dari kejauhan. Aku berdiri sekitar tiga meter di depan mobilnya tanpa bersuara. Kulihat Arka membukakan pintu mobil penumpang bagian depan untuk perempuan itu. Arka bahkan tidak pernah melakukan itu untukku. Bukan karena aku bodoh aku diam saja. Kalau aku mau, aku ingin sekali menampar kedua orang yang berada di dalam mobil itu. Ingin rasanya aku berteriak memaki, memukul, atau mencakar mereka. Saat ini yang ada dipikiranku hanyalah aku tahu siapa Arka, aku tidak pernah menduga dia tega melakukan ini padaku. Dia bukanlah Arka yang manis yang dulu ku kenal. Aku merasa mungkin hati memang tidak bisa dipaksakan. Aku tidak ingin merusak hubungan mereka, aku tidak ingin perempuan yang duduk disebelah Arka, di dalam mobilnya itu juga terluka, merasakan apa yang aku rasakan. Walaupun di satu sisi, seharusnya perempuan itulah yang berpikir bahwa aku punya hak untuk tidak disakiti.
Aku berbalik arah, tidak ada gunanya lagi aku disini. Ku pikir inilah jawaban dari segala perasaan tidak enakku belakangan ini. Tiba-tiba aku merasa seseorang menarik tanganku. Kulihat Arka dibelakangku tanpa raut wajah bersalah. Aku yakin, aku akan mengingat setiap detil kejadian hari ini sepanjang hidupku.
“Kamu, kamu ngapain disini?” Tanya Arka tanpa bisa menyembunyikan nada suaranya yang sedikit gemetar karena gugup.
Aku hanya diam. Sudah tidak ingin berbicara sama sekali. Aku bergumam di dalam hati, seharusnya aku yang bertanya sedang apa dia disini, bukankah tadi dia bilang dia harus ke kampus mengurus sesuatu yang belum selesai.
“Dia bukan siapa-siapa.”, Tanpa dia sadari Arka berbicara hal-hal yang tidak perlu, hal-hal yang tidak aku tanya sama sekali. “Dia cuma teman kampus ku sayang.”
Terus terang Arka terlihat bodoh dengan ucapannya. Dia tidak tahu sejak kapan aku membuntutinya di belakang. Aku melepas genggaman tangan Arka perlahan. Bohong kalau aku bisa merelakannya begitu saja. Tapi aku harus.
“Arka, mungkin sebaiknya aku pulang. Hati-hati di jalan.” Ucapku pelan.
Aku berjalan tanpa ada Arka yang menahanku, sesekali aku menatap ke belakang berharap Arka menyesal dan menahanku. Tapi hingga sampai di ujung jalan, aku hanya berjalan sendirian. Air mataku menetes.

* * * * * * *

Aku rebahkan tubuhku di ranjang. Aku meringkuk, kedua lenganku memeluk kedua kakiku yang tertekuk. Posisi ini sedikit membuatku nyaman, menghangatkanku dari dinginnya udara malam ini. Hatiku terlalu sakit. Aku berusaha keras untuk mengistirahatkan otakku, tapi mataku terpejam tanpa bisa tertidur. Entah sudah berapa lama aku bertahan dengan posisi seperti ini.
Ku raih ponselku yang hampir terjatuh di tepian ranjang, waktu sudah lewat tengah malam. Aku masih belum bisa tidur. Sebagian diriku yang bodoh ingin menghubungi Arka, dan sebagian yang lain bersikeras menahanku untuk tidak melakukannya. Sebagian diriku yang bodohlah yang menang, aku menghubungi Arka. Berkali-kali aku coba menghubungi, tetapi berkali-kali pula teleponku ditolak. Hatiku sakit, pikiranku berkecamuk tak karuan. Aku tak bisa melupakan begitu saja kejadian pahit yang kulihat sore tadi. Aku berharap aku bisa hilang ingatan sekarang.
Aku mendenganr suara pintu kamarku diketuk. Aku tidak mungkin membuka pintu kamar dengan mata merah dan kantung mata yang membengkak ini. Aku tidak ingin membuat siapapun di rumah ini khawatir.
“Kath,” kudengar suara Mom memanggilku lembut. Aku dapat merasakan nada khawatir dari suaranya. “Biarkan aku masuk.”
Ku dengar pintu berderik. Kurasakan gerakan di atas ranjangku. Mom duduk tepat di kananku, tangannya yang lembut dan hangat mengusap keningku yang sedikit basah berkeringat karena sudah cukup lama aku mendekam wajahku dibawah bantal.
Cukup lama dia berdiam disebelahku yang tidak bergeming sedikitpun. Mencoba mengerti untuk tidak mengganggu, Mom keluar dari kamarku dan membiarkan aku menenangkan diri.

* * * * * * *

Ini hari terakhir ujian tengah semester. Aku mencoba mengalihkan rasa sakit hatiku dengan belajar. Aku harap aku bisa mendapatkan nilai yang baik untuk mayoritas pelajaran yang diujikan. Lissie menantapku kaku. Aku merasakan sorot khawatir di matanya melihat sikapku yang murung belakangan ini. Aku memang sengaja menghindarinya, selama ujian kami bahkan tidak belajar bersama.
“Kath,” Lissie memanggilku dari kejauhan.
Aku menoleh. Menunggunya menghampiriku.
“Kamu kenapa belakangan ini?” tanyanya dengan raut wajah resah.
Aku mencoba memberikan senyum terbaikku, “Lissie, aku akan ikut ke summer camp. Menemanimu.”
“Oya?” tanyanya lagi meyakinkan.
Aku mengangguk pelan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan menceritakan semuanya setelah aku siap. Lissie merangkulku dan mengajakku pulang, ini saatnya kami bersenang-senang karena ujian sudah selesai.

* * * * * * *

Dua hari lagi aku akan berangkat mengikuti kemah musim panas. Hari ini aku dan Lissie berencana pergi bersama membeli keperluan untuk berkemah. Aku sudah siap menunggu Lissie dirumah lengkap dengan jeans dan T-shirt oranye longgar ku. Kubiarkan rambut ikalku tergerai dengan sebuah jepit yang berwarna senada dengan T-shirtku. Jam dinding di rumah sudah  menunjukkan pukul 14.25, sepertinya Lissie akan datang terlambat. Aku mengetuk-ngetukan jari ku di meja, layaknya gerakan menunggu yang sering aku lihat di televisi. Hembusan angin yang menerobos melalui jendela sesekali terasa menyejukan di tengah-tengah cuaca yang mulai panas.
Tak lama kemudian Lissie pun datang sambil terengah-engah. Aku langsung saja menghampirinya agar tidak semakin banyak waktu yang terbuang. Lissie melontarkan senyum tidak enak padaku karena sudah membuatku menunggu. Ditengah jalan kami bercanda bersama. Lissie datang terlambat karena dia harus mengantarkan adik bungsunya lebih dulu ke pesta ulang tahun temannya.
Kami sudah sampai di toko swalayan serba ada langganan kami. Lissie mengambil satu keranjang belanjaan yang tersusun rapi di depan kami. Aku dan Lissie berkeliling mencari barang-barang yang sudah kami masukkan ke dalam daftar barang belanjaan. Setelah selesai dengan persiapan snack dan makanan yang kami beli, kami beralih ke bagian peralatan olahraga. Di stand perlengkapan bergunung, aku mencoba beberapa sarung tangan berwarna putih yang tebal. Lissie terlihat begitu bersemangat mencoba berganti-ganti shawl dan topi. Semuanya tampak cocok dengannya, dengan kulitnya yang berwarna cerah. Sejenak aku bisa melupakan rasa nyeri dihatiku lagi. Hatiku terasa lega.
* * * * * * *

Hari keberangkatan pun tiba, aku dan Lissie bergegas masuk ke dalam bis yang sudah mulai dipenuhi teman-teman kami yang lain. Dari balik jendela bis yang besar aku melihat Sean yang berjalan mondar-mandir terlihat sibuk mengurus keberangkatan kami. Sean yang anak baru itu justru terlihat jauh lebih aktif ketimbang aku. Aku tersenyum kecil, sendirian. Tiba-tiba memori akan pertemuan pertamaku dengan Sean berputar-putar di kepalaku. Pikiranku terbagi-bagi, aku masih tertarik memandangi gerak-gerik Sean diluar sana sementara memori ingatanku memutar ulang pertemuan kedua kami di perpustakaan. Sean terlihat berbeda dengan celana jeans dan sweater stripes hitam putih yang digunakannya. Mirip Zebra Cross pikirku. Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri.
Lima belas menit sudah kami menunggu, mataku masih tertuju pada Sean yang hendak masuk ke dalam bis yang akan membawanya bersama teman-teman sekelasnya. Selesai sudah, sepanjang dua setengah jam kedepan aku tidak bisa melihat Sean untuk sementara. Aku menggeleng-gelengkan kepala, ‘ada apa denganku?’ aku membatin, ‘memang kenapa kalau aku dan Sean tidak berada di dalam bis yang sama? Memang kenapa kalau sampai dua setengah jam kedepan aku tidak bisa menikmati makhluk dengan kostum yang berwarna senada dengan Zebra Cross itu melangkah kesana-kemari?’, tidaaaak, ini sesuatu yang salah.
Lissie tertidur lelap sepanjang perjalanan. Sedang Sean menghilang sejenak dari kepalaku dan berganti dengan Arka. Tidak sekalipun dia mencoba menghubungiku, hingga kini pun aku masih berharap ada pesan singkat atau panggilan tak terjawab dari Arka. Kubuka perlahan flip ponselku penuh harap. Tapi aku tidak menemukan apa-apa disana. Aku memasang earphone dan mulai memainkan pemutar lagu di ponsel. Alunan lagu Someday yang dinyanyikan Nina mengiringi perjalananku. Aku memutarnya berulang-ulang. Lagu yang sendu, sangat mencerminkan keadaanku sekarang tapi juga menguatkan.
Aku mencoba beristirahat, kupejamkan mataku meski tak bisa terlelap. Guncangan ban-ban raksasa dari bus yang kutumpangi begitu terasa kini, sepertinya lokasi summer camp tidak jauh lagi. Aku akan berbahagia setibanya nanti. Memperbaiki semua yang telah aku lalui, mencoba menikmati kemahku, kesendirianku, dan menemukan seseorang yang akan menggantikan Arka seperti yang didendangkan Nina di dalam lagunya. Mungkin bukan Sean, mungkin juga dia.

—Someday. Nina #isnowplaying



* end *
.ayurisya.